Daán yahya/Republika

Sejarah Kota Jeddah

Inilah pintu gerbang bagi jamaah yang hendak berziarah ke dua tanah suci di Arab Saudi.

Oleh: Hasanul Rizqa

Jika berbicara tentang tanah suci umat Islam, biasanya pikiran akan membayangkan Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah. Masing-masing kota di Kerajaan Arab Saudi itu memang istimewa. Setiap Muslim pasti ingin mengunjunginya, minimal sekali dalam seumur hidup.

 

Di Makkah, Nabi Muhammad SAW lahir. Di sana pula terdapat Ka’bah, situs suci yang menjadi arah kiblat kaum Muslimin ketika melaksanakan shalat. Di Madinah, yang berjarak sekitar 440 kilometer dari kota tempat kelahiran Rasulullah SAW tersebut, Masjid Nabawi berdiri. Daerah permukiman yang dahulu bernama Yastrib itu juga merupakan lokasi makam Nabi SAW.

 

Di luar kedua kota suci itu, ada kota-kota lain di Jazirah Arab yang mempunyai nilai historis bagi Muslimin. Salah satunya adalah Jeddah. Kota seluas 1.600 kilometer persegi ini berada di pesisir barat Arab Saudi yang menghadap Laut Merah. Total penduduknya mencapai 4,6 juta jiwa menurut sensus pada tahun 2021 lalu.

 

Secara etimologis, nama Jeddah berasal dari bahasa Arab, Jaddah atau Juddah, yang berarti ‘nenek.’ Konon, nama ini berkaitan dengan narasi yang disampaikan turun-temurun bahwa nenek moyang manusia, Hawa, dikuburkan di daerah ini. Oleh karena itu, kota tersebut menjadi salah satu tempat yang biasa dikunjungi oleh wisatawan Muslim atau jamaah haji dan umrah.

 

Kini, Jeddah termasuk daerah metropolitan di Arab Saudi. Secara geografis, kota ini terletak di sebelah pantai timur Laut Merah pada 309 derajat garis bujur timur dan antara 21 hingga 289 derajat garis lintang utara. Jaraknya dengan Makkah dan Madinah berturut-turut sejauh 80 dan 400 kilometer.

 

Ikhwan dan Abdul Halim dalam buku Ensiklopedi Haji dan Umrah menyebutkan, kota ini memiliki dua iklim cuaca, yaitu musim panas dan musim dingin. Musim panas terjadi pada bulan Juni sampai dengan September dengan suhu rata-rata 35-42 derajat Celcius. Adapun musim dingin terjadi pada bulan November sampai dengan Februari dengan suhu 10-25 derajat Celcius.

 

Secara demografis, penduduk Kota Jeddah cukup heterogen. Di dalamnya, terdapat berbagai macam suku bangsa di dunia, seperti Arab, Persia, Afrika, India, dan juga Melayu-Indonesia. Lanskap kota ini terbagi menjadi dua, yakni kawasan perkotaan modern dan lama. Area metropolitannya mencakup nyaris seluruh kota tersebut, termasuk distrik pusat bisnis dan pemerintahan seluas 47 kilometer persegi. Adapun kawasan kota tua yang disebut sebagai al-Balad memiliki luas 17,92 hektare. Di sana, terdapat berbagai bangunan cagar budaya yang didirikan sejak berabad silam dan terawat dengan baik. Al-Balad sejak tahun 2014 menyandang status sebagai salah satu situs warisan peradaban dunia versi UNESCO.

 

Menurut buku panduan yang diterbitkan Pemerintah Kota Jeddah, kota pesisir ini telah dihuni bangsa Arab sejak lebih dari 25 abad silam. Jauh sebelum industri minyak bumi menjamur di Kerajaan Arab Saudi, Jeddah telah digunakan para nelayan dari Suku Qudha’ah sebagai tempat transit kapal-kapal mereka usai menjaring ikan di Laut Merah. Lambat laun, orang-orang ini menjadikannya sebuah perkampungan. Selanjutnya, daerah pantai tersebut semakin berdenyut oleh aktivitas ekonomi dan budaya.

Dok Republika

Ahmad al-Santanawy dalam kitab Dairah al-Ma’arif al-lslamiyah menuturkan, sejak tahun 648 Masehi Jeddah menjadi pintu masuk bagi mereka yang hendak mencapai Makkah dan Madinah dari Laut Merah. Fungsinya sebagai pelabuhan kemudian dikukuhkan oleh Utsman bin Affan, sang khalifah ketiga era Khulafaur rasyidin. Sejak saat itu, kota ini semakin berkembang dan memberikan kontribusi besar bagi bangsa Arab dan umumnya daulah Islam.

 

Pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, pusat kekuasaan Islam berpindah dari Madinah berturut-turut ke Damaskus dan Baghdad. Geliat pertumbuhan ekonomi Jeddah pun turut terpengaruh pada zaman dua kekhalifahan tersebut. Bagaimanapun, kota ini tidak lantas diabaikan para khalifah. Beberapa raja Muslim mendirikan benteng-benteng yang kokoh untuk melindunginya.

 

“Penduduknya mencapai lima ribu jiwa. Di kota ini (Jeddah), belum terdapat aktivitas perkebunan yang mapan sehingga semua kebutuhann panganya didatangkan dari luar,” jelas Nasir Khasrow, seorang penulis Persia yang pernah mengunjungi Jeddah pada tahun 1050 Masehi.

 

Pada tahun 969 M, Dinasti Fathimiyah dari Aljazair menguasai Mesir dari Gubernur Ikhshidid Abbasiyah. Wangsa yang berhaluan Syiah ini memperluas wilayahnya hingga ke pesisir timur Arab, termasuk Jeddah dan sebagian Hijaz. Dengan cara itu, mereka mengembangkan jaringan perdagangan yang menghubungkan antara Mediterania dan Samudra Hindia melalui Laut Merah. Barang-barang dari Cina era Dinasti Song berlabuh di Jeddah. Begitu pula dengan rempah-rempah dari Nusantara.

 

Pendiri Dinasti Ayyubiyah, Shalahuddin al-Ayyubi, sukses merebut Baitul Makdis dari tangan Salibis pada tahun 1171 M. Tidak lama kemudian, ia mengambil alih Mesir dan sekaligus meruntuhkan Dinasti Fathimiyah. Ayyubiyah, wangsa yang berhaluan Sunni ini, lalu menaklukkan Hijaz dan juga Jeddah. Hingga awal abad ke-13 M, kepemimpinan para keturunan al-Ayyubi dapat menghadirkan kemajuan yang berarti bagi daerah tersebut. Mereka juga membangun banyak madrasah di sana serta memperbaiki infrastruktur pelabuhan setempat. Bandar ini kian menarik para pelaut dan pedagang Muslim dari India, Asia Tenggara dan Afrika Timur.

 

Sejak medio abad ke-13 M, Dinasti Ayyubiyah dikalahkan Kesultanan Mamluk. Kerajaan yang berpusat di Kairo, Mesir, itu juga menguasai Jeddah dan kawasan sekitar. Hingga abad ke-16 M, Turki Utsmaniyah tampil sebagai kekuatan baru yang berhasil menguasai tiga tanah suci: Makkah, Madinah, dan Baitul Makdis. Tidak membutuhkan waktu lama, Jeddah pun menjadi bagian dari wilayah kekuasaan daulah yang beribu kota di Konstaninopel (Istanbul) itu.

 

Penjelajah Portugis, Vasco da Gama, berhasil menemukan jalur maritim dari Iberia ke Tanjung Harapan, Afrika selatan. Dari sana, pelaut yang juga penyebar agama Katolik itu mencapai Zanzibar dan Laut Arab. Dengan persenjataan meriamnya, ia meneror sejumlah penguasa Muslim yang berada di kota-kota pesisir antara Tanduk Afrika dan pantai Malabar. Termasuk yang disasarnya adalah kapal-kapal dagang para sultan India yang hendak mencapai Laut Merah.

 

Pangeran Gujarat dan Yaman pun meminta bantuan ke Mesir. Sultan al-Ashraf Qansuh al-Ghawri lantas mengirimkan sebanyak 50 kapal. Armada ini lalu ditempatkan di Jeddah dengan pengawasan gubernur setempat, Hussein al-Kurdi alias Mirocem. Gubernur itu juga membangun benteng-benteng di kota pesisir tersebut agar aman dari ancaman Portugis.

Jeddah mampu memberikan devisa yang sangat besar bagi pembangunan dan kemajuan perekonomian negara Arab Saudi.

Di bawah administrasi Saudi

 

Abad ke-20 M menjadi saksi kian kuatnya imperialisme dan kolonialisme Barat. Setelah ratusan tahun mengendalikan Jeddah, pada 1910 Turki Utsmaniyah akhirnya menyerahkan pemerintahan kota tersebut kepada Britania Raya. Ketika Jazirah Arab dilanda perpecahan antara kalangan pendukung syarif Makkah dan Ibnu Saud, Jeddah pun menjadi rebutan masing-masing kubu.

 

Pada 23 September 1932, Kerajaan Arab Saudi mulai berdiri. Abdul Aziz bin Saud menjadi raja pertamanya. Kepemimpinan lelaki kelahiran Kota Riyadh itu disambut negara-negara Barat—semisal Inggris,Prancis, dan Belanda—dengan pengakuan resmi.

 

Sebelum menguasai mayoritas Jazirah Arab, Ibnu Saud berhasil mengalahkan kekuatan syarif Makkah, Husain bin Ali. Kedua belah pihak terlibat perang terbuka pada 1924. Pada tahun 1926, pendukung paham Wahabisme itu dapat menguasai Haramain.

 

Dalam masa itu, Ibnu Saud mulai merombak sistem administrasi haji. Ia memperbaiki proses pemeriksaan kesehatan jamaah haji. Begitu pula dengan aspek keamanan bagi mereka. Sosok yang pada akhirnya meletakkan dasar Dinasti Saudi itu juga membasmi pungutan-pungutan liar, yang sejak pecahnya Perang Dunia I amat merepotkan orang-orang yang hendak berziarah ke Tanah Suci.

 

Oleh Dinasti Saud, Jeddah dimasukkan secara administratif ke dalam kawasan Hijaz. Mulai saat itu pula, renovasi dan modernisasi Kota Jeddah digiatkan, khususnya usai Perang Dunia II. Pembangunan gedung-gedung dan jalan-jalan dilakukan secara bertahap dan berjalan dengan cepat karena disokong oleh dana yang besar.

Dok Wikipedia

Dana tersebut diperoleh dari hasil kekayaan alam yang dimiliki oleh kerajaan Arab Saudi yang demikian melimpah ruah, terutama dari sektor penghasilan minyak bumi. Seiring dengan itu, wajah kota ini berubah dari wilayah gersang dan buruk menjadi kota yang indah dan sejuk dipandang mata. Pembangunan gedung-gedung dan jalan-jalan yang membelah kota melancarkan roda komunikasi, sehingga Jeddah berubah menjadi sebuah kota metropolitan.

 

Sebagai kota pelabuhan dan perdagangan, kota ini disibukkan oleh kegiatan bongkar muat barang, baik impor maupun ekspor. Dari sinilah masuknya barang-barang luar negeri untuk keperluan pembangunan dan kebutuhan rakyatnya.

 

Dari pelabuhan Jeddah juga dikapalkan komoditi ekspor berupa minyak, gom arab, kulit binatang dan mutiara, hasil kerajinan, seni anyaman, tembikar, pakaian, barang-barang keagamaan, perikanan, pencarian mutiara dan lain-lain.

 

Dengan demikian, Jeddah mampu memberikan devisa yang sangat besar bagi pembangunan dan kemajuan perekonomian negara Arab Saudi. Kota ini juga berfungsi menjadi tempat penyaluran sebagian kekayaan yang dimiliki Kerajaan ke negara-negara Islam, baik dalam bentuk kontrak kerja, bantuan, maupun pinjaman.

 

Sebelum booming industri minyak melanda Arab Saudi, Jeddah mengandalkan letak strategisnya sebagai sebuah pelabuhan penting di kawasan Laut Merah. Terlebih lagi, semenjak Terusan Suez dibuka pada tahun 1869, Jeddah semakin penting peranannya sebagai pelabuhan utama yang harus dilalui oleh kapal-kapal dagang dari berbagai negara.

Dok NEEDPIX

Titik mikat jamaah haji

 

Di samping posisinya sebagai kota pelabuhan dan perniagaan, Jeddah juga berfungsi sebagai kota pusat kegiatan pemerintahan dan kota diplomatik bagi pemerintahan Kerajaan Arab Saudi. Di kota ini terdapat istana raja dan kantor Departemen Luar Negeri Arab Saudi serta kantor perwakilan negara-negara asing dan badan-badan internasional lainnya.

Pintu masuk ke Arab Saudi ini sering dijadikan sebagai lokasi pertemuan para pemimpin bangsa, khususnya negara-negara Islam untuk membicarakan berbagai persoalan yang terkait dengan Islam. Beberapa kantor badan internasional ditemukan di kota ini, seperti Organisasi Penyiaran Negara Islam, Badan Dana Ilmu, Teknologi dan Pembangunan, Badan Solidaritas Islam, Bank Pembangunan Islam, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan lain-lain.

 

Seiring dengan itu, Kota Jeddah sekarang telah menjadi kota bebas terbuka untuk perhubungan dan perdagangan internasional, sehingga menjadi kota bisnis terbesar di Timur Tengah. Di mana-mana tampak bangunan tinggi, perkantoran, pertokoan, supermarket dan hotel yang megah karena pada umumnya penduduk dari berbagai negara Teluk sengaja datang ke Jeddah untuk berbelanja.

 

Dalam kaitannya dengan ibadah haji, Kota Jeddah berfungsi sebagai salah satu Miqat Makani dalam pelaksanaan ihram bagi ibadah haji. Jamaah haji Indonesia yang memasuki Kota Mekkah dengan menggunakan fasilitas pesawat terbang menggunakan Kota Jeddah sebagai tempat memulai ihram.

 

Keputusan ini ditetapkan oleh pihak pemerintah Indonesia sejak tahun 1980 berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di samping jamaah haji Indonesia, hampir semua jamaah haji dan umrah juga singgah di sini, karena kota ini adalah tempat transit jamaah haji. Menurut catatan, dalam satu tahun lebih kurang dari dua juta orang jamaah haji berkunjung ke Tanah Suci melalui Kota Jeddah.

 

Khusus untuk pengangkutan jamaah haji, pemerintah Arab Saudi telah membangun pelabuhan laut dan pelabuhan udara. Pelabuhan udara yang dibangun dinamakan Bandara King Abdul Aziz yang terletak beberapa kilometer dari Kota Jeddah.

 

Bandara King Abdul Aziz merupakan sebuah pelabuhan udara yang sangat megah, indah dan menakjubkan. Penggunaan bandara tersebut dimulai sejak diresmikannya pada tahun 1981. Pada tahun itu pula, MUI mengeluarkan fatwa tentang sahnya Bandara King Abdul Aziz sebagai Miqat Makani bagi jamaah haji Indonesia. Dengan demikian, sejak saat itu tempat memulai ihram bagi jamaah haji Indonesia beralih dari Kota Jeddah ke Bandara King Abdul Aziz.

 

Kota Jeddah sedikitnya memiliki tiga julukan. Pertama, "Sang pengantin putri Merah.” Julukan ini diberikan karena kecantikan dan keindahannya sebagai salah satu kota pelabuhan yang menghadap Laut Merah. Kedua, "Sang pintu gerbang Dua Tanah Haram.” Sebutan ini diberikan karena letak geografisnya sebagai pintu masuk ke dua tanah suci, Makkah dan Madinah, terutama melalui jalur laut dan udara. Ketiga, “Kota di tengah-tengah pasar.” Ini diberikan karena fungsinya sebagai pusat kegiatan bisnis dan perdagangan tingkat dunia.

top